Sunday, July 8, 2012

Kutemui engkau di Taman Hati...

Jalan setapak menuju satu titik yang tertutup rimbun perdu, dengan satu celah serupa pintu. Perdu itu bukanlah sembarang perdu, tapi perdu yang tumbuh rimbun oleh alunan dzikir setiap helai daunnya pun oleh setiap fragmen tangkainya. Rimbunan perdu dzikir menjadi pembatas mengelilingi titik itu.

Celah yang serupa pintu..nampaknya memang pintu, pintu berdinding kokoh terbangun oleh rangkaian wirid dan do'a tak putus. Pintu yang hanya akan terbuka oleh satu kunci lantunan shalawat. Jika lantunan shalawat membuat pintu itu terkuak..sedikit saja celah untuk mengintip kedalamnya, tak ada lelah mata menatap tak berkedip.

Di dalam sana, dibalik pembatas rimbunan perdu dzikir yang mengelilingi titik itu, adalah sebuah taman dengan hijau rumput yang membentang, dengan pohon rindang tegak dahan membelai lembut, dengan bunga beraneka warna dan aroma, dengan satu telaga bening sejuk memanjakan sepasang belibis cantik. Itulah taman kita berdua..Taman hati

Aku tau engkau diam di sana menungguku (seperti katamu), di tepi telaga bening sejuk yang memanjakan sepasang belibis cantik itu. Dengan dzikir, wirid, do'a dan shalawat taman hati membuka diri menelan langkahku yang bergegas tak sabar berjumpa denganmu. Seperti biasa, aku tau engkau diam di sana menanti ruh-ku. Dan seperti biasa, engkau tersenyum bijak melihat kakiku bergegas tak lagi menapak. Engkau sambut uluran tanganku dengan tubuh yang berpendar memancarkan cahaya suci

Diriku jatuh bersimpuh, merendah dengan tak berdaya
jemari terpaut, engkau memandang lurus menembus selaput pelangi bola mataku..ritual kita baru saja akan dimulai ketika engkau berbisik:

Ku kunjungi kamu dalam doa-doaku..
Ku rasakan setiap gejolak di hatimu. 
Kadang hati ini begitu perih..
kadang ku rasakan ketenangan...
Semua itu bergantung pada perasaanmu 
yang terus ku rasakan tanpa henti.
Hati kita berdua bagai cermin
Tempat kita saling berziarah
Ku tunggu kamu di sini
Saat butir-butir air matamu
jatuh dalam putaran tasbih biru
Dan aku masih terus menunggu
Kembalinya kamu di sisiku..


Duhai Pencipta rimbunan perdu ini, padaMu kutitip janjiku..
kutemui engkau yang  berdiam di sana menungguku (seperti katamu), di taman hati..di tepi telaga bening sejuk yang memanjakan sepasang belibis cantik itu... pada setiap pergantian detik
bersenandung symphoni ritual kita dengan ruh yang saling terpaut oleh lantunan dzikir dan doa
Kutemui engkau di taman hati..di tepi telaga bening sejuk..pada setiap pergantian detik

Innallaha ma'ana
hanya kita berdua...


Friday, July 6, 2012

Menuju satu pintu...

Perjalanan mencari dan mengetuk pintu itu ternyata tidak mudah. Onak dan duri sebesar ukuran semangatku membentang bebas dan bertebaran menutupi setapak itu. Bisikan itu sudah sejak lama menggaung dalam kalbu dan meniup lembut lembar demi lembar gendang telingaku untuk kemudian kuabaikan dengan keyakinan egois bahwa semua dapat kuhadapi dan kuputuskan sendiri.

Satu episode hidupku kulalui dengan kemanjaan dan kebodohan otak bertopeng mandiri dan kesabaran tanpa oase apapun. Cinta menggantung, menguliti kulitku dan menyayat daging tubuhku lapis demi lapis. Tubuhku termutilasi hatiku kerontang..sekarat dalam pedih tak terperi. Anehnya..tarikan nafasku masih teratur petanda mentari masih berpihak padaku..aku masih hidup. Ada anugrah besar yang tak pernah kusyukuri sebelumnya mengguyur tubuhku dengan kekuatan..aku alpa. Kembali bisikan itu muncul, kali ini kuikuti dengan langkah malas dan sikap pragmatis hingga akhirnya pukulan disertai lemparan kerikil besar dan kecil memaksaku untuk mendongak... Dia di sana, dengan lembut dan sayang mengguyur tubuhku dengan kekuatan tak pernah jemu..

Satu episode hidupku berikutnya aku jatuh cinta...pada kelembutan itu, kasih sayang itu dan guyuran kekuatan itu...merindu luar biasa langkah kupaksa mencari pintu genangannya.
Perjalanan mencari dan mengetuk pintu itu ternyata tidak mudah. Onak dan duri sebesar ukuran semangatku membentang bebas dan bertebaran menutupi setapak itu..
Kembali tubuhku terkuliti, dagingku tersayat lapis demi lapis meninggalkan rasa perih tak terucapkan yang membuatku sekarat dan hatiku kerontang...
pada nyawa yang menggantung di ujung leher, sebentuk cinta menjadi penawar kuharap menjadi kereta kencana menuju pintu genangan itu...
Kudapati diriku seolah pungguk merindu rembulan hatiku bertepuk sebelah tangan, penawar itu berubah bentuk menjelma bagai Medusa dengan kepala-kepala beracunnya yang siaga mematuk dan meracuni tubuhku. Aku sekarat dalam sekarat..berulang makian kutelan kering menggores lapisan lembut kerongkonganku dan berdarah...

Tertatih dan sekarat aku berjalan mencari pintu genangan itu untuk mengetuknya...
Perjalanan mencari dan mengetuk pintu itu ternyata tidak mudah. Onak dan duri sebesar ukuran semangatku kembali membentang bebas dan bertebaran menutupi setapak itu. Pun kembali tubuhku terkuliti, dagingku tersayat lapis demi lapis meninggalkan rasa perih tak terperih yang membuatku sekarat dan hatiku kerontang untuk yang kesekian kalinya..aku tak berdaya
Usapan lembut dan bisikan doa dari satu ruh mencampakkan diriku dari perihnya perjalanan kematian...
Kusambut dengan bayaran mahal kehidupan dan jiwaku, tak mengapa. Asalkan mampu kupandang pintu genangan itu dan tak peduli kulacurkan pikiranku untuk dapat mengintip kedalamnya.
Perjalanan mencari dan mengetuk pintu itu ternyata tidak mudah...
Tapi aku tidak peduli lagi..matipun hatiku siaga, seberapa rusak tubuhku seburuk makian terhempas ke wajahku..apalah diriku..hampa
Bagiku berjalan menuju pintu dan berjumpa sumber genangan itu...akan menjadi penawar segalanya...

Ilahi, anta maksudi wa ridhaka matlubi